Kriminalisasi terhadap Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia

๐Ÿ›๏ธ Pendahuluan

Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu kejahatan yang paling serius dan kompleks di Indonesia. Dampaknya tidak hanya merusak kesehatan individu, tetapi juga menimbulkan kerugian sosial, ekonomi, dan moral bangsa.
Oleh karena itu, negara menempatkan tindak pidana narkotika sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang memerlukan penegakan hukum tegas, terukur, dan berkeadilan.
Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pemerintah berupaya menekan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan kriminalisasi sekaligus rehabilitasi.


โš–๏ธ Pengertian Narkotika dan Penyalahgunaannya

Menurut Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis, yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, serta menimbulkan ketergantungan.

Penyalahgunaan narkotika berarti:

โ€œPenggunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.โ€

Hal ini mencakup penggunaan tanpa resep dokter, peredaran ilegal, serta kepemilikan atau produksi tanpa izin negara.


๐Ÿ“œ Dasar Hukum dan Tujuan Kriminalisasi

Kriminalisasi penyalahgunaan narkotika memiliki dasar hukum kuat dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
  3. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika.

Tujuan kriminalisasi ini bukan semata menghukum pelaku, tetapi juga:

  • Menekan peredaran gelap narkoba.
  • Melindungi generasi muda dari ketergantungan.
  • Menjamin keamanan dan ketertiban nasional.
  • Mewujudkan masyarakat bebas narkoba (drug-free society).

โš–๏ธ Klasifikasi dan Pengaturan Narkotika

UU Narkotika mengklasifikasikan narkotika menjadi tiga golongan berdasarkan tingkat bahaya dan manfaat medisnya:

  1. Golongan I โ†’ sangat berbahaya, tidak digunakan untuk pengobatan, contoh: heroin, kokain, sabu, ganja.
  2. Golongan II โ†’ berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan tetapi dapat digunakan secara terbatas untuk pengobatan, contoh: morfin, petidin.
  3. Golongan III โ†’ berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan, contoh: kodein, etilmorfina.

Penyalahgunaan terhadap masing-masing golongan memiliki ancaman hukuman yang berbeda sesuai tingkat bahaya dan perannya dalam peredaran.


โš–๏ธ Bentuk-Bentuk Kriminalisasi dalam UU Narkotika

UU No. 35 Tahun 2009 memberikan sanksi berat bagi pelaku tindak pidana narkotika, antara lain:

  1. Pengedar dan Produsen
    • Pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal seumur hidup atau pidana mati.
    • Denda hingga Rp10 miliar.
    • Hukuman mati dapat dijatuhkan bila pelaku terbukti mengedarkan narkotika Golongan I dalam jumlah besar.
  2. Kurir dan Perantara
    • Dihukum penjara antara 4โ€“20 tahun, tergantung keterlibatan dan barang bukti.
  3. Penyalahguna (Pengguna)
    • Pidana penjara maksimal 4 tahun, tetapi dapat dialihkan menjadi rehabilitasi medis dan sosial sesuai Pasal 54 UU Narkotika.
  4. Pemilik atau Penanam Tanaman Narkotika
    • Ancaman penjara hingga 20 tahun atau pidana mati, tergantung pada jenis dan tujuan penanaman.

๐Ÿ‘ฉโ€โš–๏ธ Rehabilitasi sebagai Alternatif Pemidanaan

UU Narkotika menegaskan bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi, bukan dipenjara.
Hal ini diatur dalam Pasal 54 yang menyebutkan:

โ€œPecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.โ€

Rehabilitasi dilakukan di lembaga khusus di bawah BNN (Badan Narkotika Nasional) atau rumah sakit yang ditunjuk pemerintah.
Pendekatan ini menegaskan bahwa penyalahguna narkotika adalah korban yang perlu disembuhkan, bukan semata-mata pelaku kejahatan.


โš–๏ธ Tantangan Penegakan Hukum Narkotika

  1. Modus kejahatan yang semakin kompleks, termasuk jaringan lintas negara dan transaksi melalui darknet.
  2. Overkapasitas lembaga pemasyarakatan karena banyaknya pengguna yang dipenjara.
  3. Ketimpangan antara pendekatan hukum dan kesehatan, di mana rehabilitasi masih sering diabaikan.
  4. Korupsi dan oknum aparat yang terlibat dalam peredaran narkoba.
  5. Kurangnya edukasi dan literasi publik tentang bahaya narkotika.

Masalah ini menunjukkan bahwa perang terhadap narkotika tidak bisa hanya melalui penegakan hukum, tetapi juga harus mencakup pendekatan edukatif, sosial, dan kesehatan masyarakat.


๐Ÿ’ก Upaya Pemerintah dan BNN

Pemerintah bersama BNN terus berupaya memperkuat pencegahan dan pemberantasan narkotika melalui:

  • Program Desa Bersih Narkoba (Desa Bersinar).
  • Sistem wajib lapor bagi pecandu narkoba.
  • Peningkatan kerja sama internasional dengan UNODC, Interpol, dan ASEAN.
  • Kampanye publik #Hidup100PersenTanpaNarkoba.
  • Pendidikan antinarkoba di sekolah dan universitas.

Upaya ini diharapkan tidak hanya menurunkan angka penyalahgunaan, tetapi juga membangun budaya sadar hukum dan hidup sehat.


๐Ÿง  Kesimpulan

Kriminalisasi terhadap penyalahgunaan narkotika di Indonesia adalah langkah hukum yang diperlukan untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk narkoba.
Namun, sistem hukum harus tetap membedakan antara pengedar dan pengguna, agar keadilan dapat ditegakkan dengan bijak.
Melalui kombinasi antara penegakan hukum yang tegas dan rehabilitasi yang manusiawi, Indonesia dapat bergerak menuju cita-cita besar: masyarakat bebas narkoba yang sehat, produktif, dan berkeadilan.